Perayaan Sekaten yang dilaksanakan setiap tahun di Karaton Surakarta adalah wujud Mikul Dhuwur Mendhem Jero dari Karaton terhadap perjuangan Wali Songo yang telah berhasil menyebarkan tuntunan nabi Muhammad SAW. Untuk kepentingan dakwah, oleh para wali di Demak, kelahiran Nabi tersebut diperingati selama seminggu, dari tanggal 5-15 Rabbingulawal. Peringatan yang lazim dinamai Maulud Nabi itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat Syahadat, yakni persaksian manusia muslim bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah).
Sekaten diadakan sebagai penghormatan terhadap lahirnya tuntunan bagi manusia, yang perlu terus-menerus didengungkan ke pelosok masyarakat sampai kapanpun juga. Masyarakat yang datang ke Sekaten tidak lain hanya ingin mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir dan batin.
Semangat perayaan Sekaten tak lain sebuah peringatan kepada manusia untuk dapat hormat-menghormati satu sama lain, dapat mengakui ide-ide orang lain, bisa mengakui kesalahan dengan Legawa dan menerima kemenangan dengan syukur dan takwa serta tidak takabur.
Sebenarnya, orang-orang yang mendatangi Sekaten pada dasarnya adalah mereka yang mau diatur oleh tuntunan, Ngrungkebi Budi Suci dan menghambakan diri kepada Tuhan YME, menuju manusia sejati sebagaimana yang diharapkan para wali.
Nyatalah bahwa perayaan Sekaten diperuntukkan bagi mereka yang menghendaki tuntunan; hal yang memang dikehendaki oleh para Wali Songo. Kejelian, kecerdasan, dan kedekatan para Wali pada masyarakatnya, membuat mereka sepakat untuk mengemas dakwahnya dengan menampilkan tontonan yang menghadirkan gamelan pusaka peninggalan dinasti Majapahit yang telah dibawa ke Demak.
Di Karaton Surakarta tradisi menabuh gamelan itu masih tetap dilaksanakan di Bangsal Pagongan, Mesjid Agung Karaton Surakarta. Yang harus disimak dari Gendhing-gendhing Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari adalah makna yang ada di dalamnya. Setidaknya ada 2 (dua) kebenaran yang hendak disampaikan. Pertama adalah Syahadat Taukhid, yakin pada adanya Allah SWT, dilambangkan dalam gendhing ‘Rembu’, berasal dari kata Robbunayang yang artinya Allah Tuhanku yang dikumandangkan dari gamelan Kyai Guntur Madu.Perkara kedua adalah Syahadat Rosul dari Gamelan Kyai Guntur Sari, yakni berkumandangnya Gendhing ‘Rangkung’, berasal dari kata Roukhun yang artinya Jiwa Besar atau Jiwa Yang Agung. Semua tidak hanya sebagai tontonan atau hiburan belaka.
Perkembangan jaman dan semangat baru yang hendak diemban oleh Karaton Surakarta menuntut kelegawaan dan kejembaran pikiran untuk melaksanakannya. Sebagai salah satu dari keragaman konstelasi tradisi Karaton, Sekaten-pun harus Nut Jaman Kelakone. Artinya, baik sebagai Tuntunan maupun sebagai Tontonan, keduanya harus tetap berdasarkan pada tujuan semula diadakannya perayaan Sekaten. Jangan sampai kepercayaan masyarakat yang telah mengakar dikaburkan oleh penonjolan unsur tontonannya. Kita tidak boleh semena-mena dan nggampangke masalah.
Jika hendak menge-tengahkan keragaman dan keunikan etnis berikut eksotismenya dengan menampilkan berbagai atraksi dan seni budaya daerah, selayaknya ditampilkan seminggu sebelum dan sesudah hari-H perayaan. Sedangkan seminggu sebelum hingga hari-H perayaan, benar-benar merupakan rasa syukur atas tuntunan yang telah dibawa Nabi Muhammad.
Spiritnya harus dijaga, perimbangan dan proporsi keduanya (Tuntunan dan Tontonan) harus terjaga. Nut IngJaman Kalakone tak sama dan tak sebangun juga tak searti dengan Kentir Ing Banjir Bandhang Kali Jaman (Dihimpun dari berbagai sumber}
Sekaten diadakan sebagai penghormatan terhadap lahirnya tuntunan bagi manusia, yang perlu terus-menerus didengungkan ke pelosok masyarakat sampai kapanpun juga. Masyarakat yang datang ke Sekaten tidak lain hanya ingin mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir dan batin.
Semangat perayaan Sekaten tak lain sebuah peringatan kepada manusia untuk dapat hormat-menghormati satu sama lain, dapat mengakui ide-ide orang lain, bisa mengakui kesalahan dengan Legawa dan menerima kemenangan dengan syukur dan takwa serta tidak takabur.
Sebenarnya, orang-orang yang mendatangi Sekaten pada dasarnya adalah mereka yang mau diatur oleh tuntunan, Ngrungkebi Budi Suci dan menghambakan diri kepada Tuhan YME, menuju manusia sejati sebagaimana yang diharapkan para wali.
Nyatalah bahwa perayaan Sekaten diperuntukkan bagi mereka yang menghendaki tuntunan; hal yang memang dikehendaki oleh para Wali Songo. Kejelian, kecerdasan, dan kedekatan para Wali pada masyarakatnya, membuat mereka sepakat untuk mengemas dakwahnya dengan menampilkan tontonan yang menghadirkan gamelan pusaka peninggalan dinasti Majapahit yang telah dibawa ke Demak.
Di Karaton Surakarta tradisi menabuh gamelan itu masih tetap dilaksanakan di Bangsal Pagongan, Mesjid Agung Karaton Surakarta. Yang harus disimak dari Gendhing-gendhing Gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari adalah makna yang ada di dalamnya. Setidaknya ada 2 (dua) kebenaran yang hendak disampaikan. Pertama adalah Syahadat Taukhid, yakin pada adanya Allah SWT, dilambangkan dalam gendhing ‘Rembu’, berasal dari kata Robbunayang yang artinya Allah Tuhanku yang dikumandangkan dari gamelan Kyai Guntur Madu.Perkara kedua adalah Syahadat Rosul dari Gamelan Kyai Guntur Sari, yakni berkumandangnya Gendhing ‘Rangkung’, berasal dari kata Roukhun yang artinya Jiwa Besar atau Jiwa Yang Agung. Semua tidak hanya sebagai tontonan atau hiburan belaka.
Perkembangan jaman dan semangat baru yang hendak diemban oleh Karaton Surakarta menuntut kelegawaan dan kejembaran pikiran untuk melaksanakannya. Sebagai salah satu dari keragaman konstelasi tradisi Karaton, Sekaten-pun harus Nut Jaman Kelakone. Artinya, baik sebagai Tuntunan maupun sebagai Tontonan, keduanya harus tetap berdasarkan pada tujuan semula diadakannya perayaan Sekaten. Jangan sampai kepercayaan masyarakat yang telah mengakar dikaburkan oleh penonjolan unsur tontonannya. Kita tidak boleh semena-mena dan nggampangke masalah.
Jika hendak menge-tengahkan keragaman dan keunikan etnis berikut eksotismenya dengan menampilkan berbagai atraksi dan seni budaya daerah, selayaknya ditampilkan seminggu sebelum dan sesudah hari-H perayaan. Sedangkan seminggu sebelum hingga hari-H perayaan, benar-benar merupakan rasa syukur atas tuntunan yang telah dibawa Nabi Muhammad.
Spiritnya harus dijaga, perimbangan dan proporsi keduanya (Tuntunan dan Tontonan) harus terjaga. Nut IngJaman Kalakone tak sama dan tak sebangun juga tak searti dengan Kentir Ing Banjir Bandhang Kali Jaman (Dihimpun dari berbagai sumber}
0 komentar:
Posting Komentar