Keris bagi orang awam mungkin hanyalah sekedar hiasan atau pajangan biasa. Adapula yang menganggap keris hanyalah sebagai senjata khas dari Jawa. Tapi dari keduanya memang benar,keris merupakan hiasan dan juga sebagai senjata. Tapi tahukah anda eksotisme keindahan dari sebuah keris?. Untuk itu kali ini sedikit banyak saya akan mengulas tentang keindahan pesona magis dari keris.
Barangkali periode yang dianggap paling mewakili kejayaan pembuatan keris di Jawa adalah semasa Kerajaan Mataram Islam. Ketika itu, perkembangan keris berlangsung dengan pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas, terutama pada era kekuasaan Sultan Agung. Pada masa pemerintahan raja besar Mataram itu muncul dapur-dapur baru, salah satunya yang terkenal adalah dapur Nagasasra.
Pada masa Sultan Agung pula dikenal budaya kinatah pada keris. Tradisi pembuatan keris terus berkembang pada era nom-noman, yaitu masa setelah pecahnya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta lewat perjanjian Giyanti tahun 1755. Menurut Ronggojati Sugiyatno, seorang empu sekaligus pelaku budaya di Solo, mulai era Paku Buwono III sudah terjadi kemajuan yang mencolok dalam penggarapan dan pemilihan bahan. “Perlu dicatat, meski sejak PB III terjadi perkembangan dalam tradisi pembuatan keris, namun semua keris yang dihasilkan itu murni dari dapur yang ada sebelumnya. Jadi sejak PB III tidak ada lagi penciptaan dapur baru.”
Meski demikian, pemilik sejumlah keris klasik tangguh Surakarta itu mengakui terjadinya inovasi dan eksplorasi estetik baru, yang antara lain menghasilkan sejumlah dapur dan ricikan (detail) yang semakin tegas, dalam, rapi dan beragam, seperti 32 Sari 27 pengujian pembuatan dan model pamor, gaya baru dengan masuknya ukuran sedikit lebih besar, serta nuansa necis dan gagah. Pemilihan kualitas bahan pamor dan baja juga semakin terjaga.
“Salah satu bahan yang bagus ya watu lintang (meteor) yang pernah jatuh di sekitar Prambanan itu,” ujar Sugiyatno.
Sukamdi mengungkapkan bahwa keris Tangguh Surakarta merupakan penyempurnaan dari masa-masa sebelumnya. Dengan kata lain, dia menyebut keris Surakarta merupakan puncak garapan keris. Dalam periode yang dianggap sebagai puncak keemasan tradisi pembuatan keris itulah, keris sebenarnya mulai beralih fungsi, yaitu dari senjata perang menjadi pelengkap budaya.
Tiga pengrajin keris dari Solo, Subandi, Sukandi, dan Ronggojati Sugiyatno menyebut cirri paling menonjol dari keris Surakarta adalah “da” (ricikan bagian ganja) yang agak munuk (dari kata punuk sapi).
“Posisi ‘da’-nya itu sangat wangun (elok) dan pas. Kemudian puyuhan pada keris Surakarta lebih kedalam. Satu kekhasan lain, keris Surakarta mempunyai pamor yang lebih inovatif dan bahan-bahannya lebih berkualitas,” jelas Sugiyatno.
Mengenai bentuk fisik secara utuh, ketiga pengrajin keris asal Solo sepakat umumnya ukuran keris Surakarta lebih besar dibanding keris Yogyakarta. Untuk bagian wilah atau bilah, menurut Subandi, keris Surakarta mempunyai bangkekan (pinggang).
“Untuk luk lurus gaya Solo, bagian tengah wilah melebar, kemudian meruncing hingga ujung. Keris tangguh lain tidak seperti itu,” ujar Subandi.
Dia menyebut kekhasan lain dari keris Surakarta, antara lain pada bagian selut yang njeruk keprok seperti mendak, terbuat dari emas atau perak, bertatahkan permata. Fungsi selut terbatas sebagai hiasan yang menampilkan kemewahan. Warangka keris Surakarta juga berbeda dengan tangguh lain. Warangka Surakarta biasanya terbuat dari kayu cendana wangi atau cendana Sumbawa. Warangka Surakarta ukurannya lebih besar dibanding Warangka Yogyakarta, meski bentuknya sangat mirip.
“Ladrang Solo bagian angkup-nya lebih melengkung ke dalam atau menjorok.”
Dalam satu kalimatnya yang agak panjang, Ronggojati Sugiyatno menyebut keris Tangguh Surakarta itu adalah bilah seperti daun singkong, besi halus, pamor menyebar, puyuan meruncing, gulu meled pada ganja pendek, odo-odo dan bagian lainnya tampak manis dan luwes.
Dari catatan yang ada, Keris Tangguh Surakarta meliputi periode tahun 1749-sekarang, yaitu pada era Paku Buwono III (1749-1788), Paku Buwono IV (1788-1820), Paku Buwono V (1820-1823), Paku Buwono VI (1823-1830), Paku Buwono VII (1830-1858), Paku Buwono VIII (1858-1861), Paku Buwono IX (1861-1893), Paku Buwono X (1893-1939), Paku Buwono XI (1839-1944), Paku Buwono XII (1944-sekarang).
Pada masa Kasunanan Surakarta, beberapa empu yang sangat terkenal antara lain, Empu Brojoguno I-II, Empu Brojokaryo, Empu Brojosentika, Empu Empu Tirtodongso, Empu Japan, dan Empu Ki Suratman. Empu Brojokaryo dan Empu Brojosentiko merupakan cucu dari Empu Brojoguno II dari dua ibu yang berbeda. “Empu-empu Brojo selalu menandai keris buatannya dengan bagian tengah lebar seperti daun singkong,ynag kelak merupakan ciri khas keris Surakarta,” jelas Ronggojati Sugiyatno.
Dia menambahkan, pada periode PB X sebenarnya banyak melahirkan empu-empu hebat. Hanya saja, sebagian besar mereka adalah empu kajoran,yaitu empu yang dating dari luar tembok keraton. Beberapa di antaranya yang cukup terkemuka adalah Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III. Kini, setelah pasca kemerdekaan, tradisi pembuatan keris di wilayah Surakarta atau Solo tidak pernah berhenti. Namun mereka mengukuhkan diri sebagai pengrajin keris dan menolak disebut sebagai empu. “Empu itu ditunjuk oleh raja dan bekerja untuk kerajaan. Saya hanya pembuat atau pengrajin keris, bukan empu,” ujar Sukamdi di rumahnya di kawasan Banyu Agung, Solo. Sukamdi memandang lebih realistis bahwa menjadi pengrajin keris merupakan bentuk usaha yang bisa emberi keuntungan mencukupi untuk menghidupi keluarga.
Sebagai pengrajin keris maka titik beratnya adalah karya seni yang bisa dipasarkan. “Meski demikian saya tetap berpegang pada pakem. Sebab keris baik klasik maupun bukan, akan menjadi karya seni yang indah jika sesuai dengan pakem yang ada,” kata Sukamdi yang pernah membuat keris dapur Gelombang Cinta itu. Hal senada juga disampaikan oleh Subandi. Dalam sebulan, rata-rata dia bisa menyelesaikan dua bilah keris. Namun jika keris pesanan, dia membutuhkan waktu lebih lama lagi sesuai dengan permintaan si pemesan. Keris buatannya berharga mulai Rp 7.500.000 hingga Rp 10 juta. Para pengrajin keris biasanya mengkombinasikan kekhasan daerahnya sebagai penanda khas daerah. Subandi misalnya, bisa menandai keris-keris ciptaannya dengan pesi berbentuk paku sebagai penanda karya empu kamardikan di tlatah Paku Buwanan, Solo. Ada juga pengrajin yang menggunakan penanda khas lain seperti pemasangan inisial nama sang pembuat keris. Inisial tersebut bias dalam bentuk tatahan emas atau hanya ukiran relief biasa dengan huruf Jawa atau abjad seperti yang ada pada keris karya M. Ng. Suyanto Wiryocurigo, Solo, yang menjadi koleksi Duta Besar Belgia untuk Indonesia, Marc Trenteseau. Keris tersebut berhias sinarasah mas dengan inisial Marc dalam dua bentuk huruf jawa Mo – To dan abjad M–T.
Beberapa pengrajin keris di Solo lainnya yang mempunyai nama cukup terpandang, antara lain M.Ng.H. Pauzan Pusposukadgo dan Hajar Satoto. Pauzan selain membuat keris juga membuat tombak dan tosan aji lainnya. Pada dekade tahun 1980-an, Pauzan juga menjadi dosen luar biasa dalam bidang pembuatan keris di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, yang kini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Pada masa Sultan Agung pula dikenal budaya kinatah pada keris. Tradisi pembuatan keris terus berkembang pada era nom-noman, yaitu masa setelah pecahnya Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta lewat perjanjian Giyanti tahun 1755. Menurut Ronggojati Sugiyatno, seorang empu sekaligus pelaku budaya di Solo, mulai era Paku Buwono III sudah terjadi kemajuan yang mencolok dalam penggarapan dan pemilihan bahan. “Perlu dicatat, meski sejak PB III terjadi perkembangan dalam tradisi pembuatan keris, namun semua keris yang dihasilkan itu murni dari dapur yang ada sebelumnya. Jadi sejak PB III tidak ada lagi penciptaan dapur baru.”
Meski demikian, pemilik sejumlah keris klasik tangguh Surakarta itu mengakui terjadinya inovasi dan eksplorasi estetik baru, yang antara lain menghasilkan sejumlah dapur dan ricikan (detail) yang semakin tegas, dalam, rapi dan beragam, seperti 32 Sari 27 pengujian pembuatan dan model pamor, gaya baru dengan masuknya ukuran sedikit lebih besar, serta nuansa necis dan gagah. Pemilihan kualitas bahan pamor dan baja juga semakin terjaga.
“Salah satu bahan yang bagus ya watu lintang (meteor) yang pernah jatuh di sekitar Prambanan itu,” ujar Sugiyatno.
Sukamdi mengungkapkan bahwa keris Tangguh Surakarta merupakan penyempurnaan dari masa-masa sebelumnya. Dengan kata lain, dia menyebut keris Surakarta merupakan puncak garapan keris. Dalam periode yang dianggap sebagai puncak keemasan tradisi pembuatan keris itulah, keris sebenarnya mulai beralih fungsi, yaitu dari senjata perang menjadi pelengkap budaya.
Tiga pengrajin keris dari Solo, Subandi, Sukandi, dan Ronggojati Sugiyatno menyebut cirri paling menonjol dari keris Surakarta adalah “da” (ricikan bagian ganja) yang agak munuk (dari kata punuk sapi).
“Posisi ‘da’-nya itu sangat wangun (elok) dan pas. Kemudian puyuhan pada keris Surakarta lebih kedalam. Satu kekhasan lain, keris Surakarta mempunyai pamor yang lebih inovatif dan bahan-bahannya lebih berkualitas,” jelas Sugiyatno.
Mengenai bentuk fisik secara utuh, ketiga pengrajin keris asal Solo sepakat umumnya ukuran keris Surakarta lebih besar dibanding keris Yogyakarta. Untuk bagian wilah atau bilah, menurut Subandi, keris Surakarta mempunyai bangkekan (pinggang).
“Untuk luk lurus gaya Solo, bagian tengah wilah melebar, kemudian meruncing hingga ujung. Keris tangguh lain tidak seperti itu,” ujar Subandi.
Dia menyebut kekhasan lain dari keris Surakarta, antara lain pada bagian selut yang njeruk keprok seperti mendak, terbuat dari emas atau perak, bertatahkan permata. Fungsi selut terbatas sebagai hiasan yang menampilkan kemewahan. Warangka keris Surakarta juga berbeda dengan tangguh lain. Warangka Surakarta biasanya terbuat dari kayu cendana wangi atau cendana Sumbawa. Warangka Surakarta ukurannya lebih besar dibanding Warangka Yogyakarta, meski bentuknya sangat mirip.
“Ladrang Solo bagian angkup-nya lebih melengkung ke dalam atau menjorok.”
Dalam satu kalimatnya yang agak panjang, Ronggojati Sugiyatno menyebut keris Tangguh Surakarta itu adalah bilah seperti daun singkong, besi halus, pamor menyebar, puyuan meruncing, gulu meled pada ganja pendek, odo-odo dan bagian lainnya tampak manis dan luwes.
Dari catatan yang ada, Keris Tangguh Surakarta meliputi periode tahun 1749-sekarang, yaitu pada era Paku Buwono III (1749-1788), Paku Buwono IV (1788-1820), Paku Buwono V (1820-1823), Paku Buwono VI (1823-1830), Paku Buwono VII (1830-1858), Paku Buwono VIII (1858-1861), Paku Buwono IX (1861-1893), Paku Buwono X (1893-1939), Paku Buwono XI (1839-1944), Paku Buwono XII (1944-sekarang).
Pada masa Kasunanan Surakarta, beberapa empu yang sangat terkenal antara lain, Empu Brojoguno I-II, Empu Brojokaryo, Empu Brojosentika, Empu Empu Tirtodongso, Empu Japan, dan Empu Ki Suratman. Empu Brojokaryo dan Empu Brojosentiko merupakan cucu dari Empu Brojoguno II dari dua ibu yang berbeda. “Empu-empu Brojo selalu menandai keris buatannya dengan bagian tengah lebar seperti daun singkong,ynag kelak merupakan ciri khas keris Surakarta,” jelas Ronggojati Sugiyatno.
Dia menambahkan, pada periode PB X sebenarnya banyak melahirkan empu-empu hebat. Hanya saja, sebagian besar mereka adalah empu kajoran,yaitu empu yang dating dari luar tembok keraton. Beberapa di antaranya yang cukup terkemuka adalah Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III. Kini, setelah pasca kemerdekaan, tradisi pembuatan keris di wilayah Surakarta atau Solo tidak pernah berhenti. Namun mereka mengukuhkan diri sebagai pengrajin keris dan menolak disebut sebagai empu. “Empu itu ditunjuk oleh raja dan bekerja untuk kerajaan. Saya hanya pembuat atau pengrajin keris, bukan empu,” ujar Sukamdi di rumahnya di kawasan Banyu Agung, Solo. Sukamdi memandang lebih realistis bahwa menjadi pengrajin keris merupakan bentuk usaha yang bisa emberi keuntungan mencukupi untuk menghidupi keluarga.
Sebagai pengrajin keris maka titik beratnya adalah karya seni yang bisa dipasarkan. “Meski demikian saya tetap berpegang pada pakem. Sebab keris baik klasik maupun bukan, akan menjadi karya seni yang indah jika sesuai dengan pakem yang ada,” kata Sukamdi yang pernah membuat keris dapur Gelombang Cinta itu. Hal senada juga disampaikan oleh Subandi. Dalam sebulan, rata-rata dia bisa menyelesaikan dua bilah keris. Namun jika keris pesanan, dia membutuhkan waktu lebih lama lagi sesuai dengan permintaan si pemesan. Keris buatannya berharga mulai Rp 7.500.000 hingga Rp 10 juta. Para pengrajin keris biasanya mengkombinasikan kekhasan daerahnya sebagai penanda khas daerah. Subandi misalnya, bisa menandai keris-keris ciptaannya dengan pesi berbentuk paku sebagai penanda karya empu kamardikan di tlatah Paku Buwanan, Solo. Ada juga pengrajin yang menggunakan penanda khas lain seperti pemasangan inisial nama sang pembuat keris. Inisial tersebut bias dalam bentuk tatahan emas atau hanya ukiran relief biasa dengan huruf Jawa atau abjad seperti yang ada pada keris karya M. Ng. Suyanto Wiryocurigo, Solo, yang menjadi koleksi Duta Besar Belgia untuk Indonesia, Marc Trenteseau. Keris tersebut berhias sinarasah mas dengan inisial Marc dalam dua bentuk huruf jawa Mo – To dan abjad M–T.
Beberapa pengrajin keris di Solo lainnya yang mempunyai nama cukup terpandang, antara lain M.Ng.H. Pauzan Pusposukadgo dan Hajar Satoto. Pauzan selain membuat keris juga membuat tombak dan tosan aji lainnya. Pada dekade tahun 1980-an, Pauzan juga menjadi dosen luar biasa dalam bidang pembuatan keris di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, yang kini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Pauzan lahir di Desa Grinting, Boyolali, Jawa Tengah, tahun 1941. Minatnya terhadap dunia perkerisan mulai muncul sekitar tahun 1971. Ia menjadi anggota Boworoso Tosan Aji Surakarta, dan banyak mendapat bimbingan dari KRT Hardjonagoro (Alm), seorang budayawan kolektor keris di Solo. Tahun 1982 ia mulai belajar membuat keris sendiri, dengan membuat besalen di halaman rumahnya. Sekitar tahun 1984 Pauzan membuat pamor kreasi baru berdasarkan rekayasa Dietrich Dresser, yaitu pamor Poleng Wengkon. Pauzan menerapkannya pada sebuah keris berdapur Gumbeng. Jenderal Soerono (Alm) memberi nama keris itu Kyai Surengkarya, yang artinya pekerja keras atau pekerja tekun.
Nama kedua yang tak kalah hebat adalah Hajar Satoto, yang merupakan seniman serba bisa di Solo. Ia mulai menekui tosan aji tahun 1982, dan ingin menampilkan tosan aji semata-mata sebagai seni profan, sejajar dengan seni patung, ukir, sungging, lukis dan lainnya.Hajar Satoto “meramalkan” bahwa di masa depan kepercayaan pada “isi” keris akan menyusut sesuai dengan kemajuan masyarakat modern yang serba teknologi tinggi. Namun, lanjut dia, karya seni profan tosan aji tak boleh ikut hilang dengan perubahan.
Sepanjang karirnya di dunia perkerisan, Hajar Satoto yang juga seniman musik tradisional itu, berhasil mengembangkan teknologi membuat pamor keris pada pembuatan gamelan, yaitu gamelan berpamor pada bilah-bilahnya yang ternyata menghasilkan suara lebih bagus dan lebih awet, serta tidak perlu sering di-stem (diselaraskan) nadanya.
Selain beberapa nama yang telah disebutkan, selama kurun waktu tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, masih ada lagi sejumlah nama lain yang juga membuat keris. Namun orang-orang tersebut tidak diketahui sebagai individu.
Nama kedua yang tak kalah hebat adalah Hajar Satoto, yang merupakan seniman serba bisa di Solo. Ia mulai menekui tosan aji tahun 1982, dan ingin menampilkan tosan aji semata-mata sebagai seni profan, sejajar dengan seni patung, ukir, sungging, lukis dan lainnya.Hajar Satoto “meramalkan” bahwa di masa depan kepercayaan pada “isi” keris akan menyusut sesuai dengan kemajuan masyarakat modern yang serba teknologi tinggi. Namun, lanjut dia, karya seni profan tosan aji tak boleh ikut hilang dengan perubahan.
Sepanjang karirnya di dunia perkerisan, Hajar Satoto yang juga seniman musik tradisional itu, berhasil mengembangkan teknologi membuat pamor keris pada pembuatan gamelan, yaitu gamelan berpamor pada bilah-bilahnya yang ternyata menghasilkan suara lebih bagus dan lebih awet, serta tidak perlu sering di-stem (diselaraskan) nadanya.
Selain beberapa nama yang telah disebutkan, selama kurun waktu tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, masih ada lagi sejumlah nama lain yang juga membuat keris. Namun orang-orang tersebut tidak diketahui sebagai individu.
0 komentar:
Posting Komentar